Rasa Menurut Agama Hindu

Rasa adalah sesuatu hal yang memiliki kaitan erat dengan ajaran agama. Kitab-kitab sastra Jawa Kuno yang mengandung ajaran-ajaran keagamaan memakai istilah rasa-agama pada ajaran yang dikandung kitab-kitab dimaksud. Kitab Sarasamuscaya misalnya yang disususn oleh Bhagawan Wararuci, yang merupakan inti dari kitab Astadasaparwa karangan Bhagawan Byasa memuat istilah tersebut dalam konteks yang menarik untuk direnungkan:
Lawan waneh kottamanira, yan hana sira telas rumengo rasa-niking sang hyang aji, pisaningu juga sira ahyuna rumengwa kathantara, .....
Artinya: Keutamaannya yang lain, apabila orang telah mendengar rasa ajaran ini (maksudnya Astadasaparwa atau Mahabrata) mustahillah ia ingin mendengarkan cerita-cerita lain, .....

Petikan di atas menyiratkan bahwa dalam karya agung Mahabrata terkantung rasa, yang semestinya ditangkap dengan rasa juga. Jadi kepekaan rasa pembaca kitab tersebut sangat diperlukan bagi usaha penghayatan ajaran yang dikandungya.


Seluk Beluk Ilmu Hitam di Bali

Berbicara tentang adat istiadat di Bali dikaitkan dengan arus modernisasi, masih tetap ajeg dan kuat berakar di hati sanubari masyarakat Bali. Ilmu hitam yang disebut dengan istilah "Pengeleakan" di Bali sudah dikenal masyarakat sangat luas sejak dulu, ilmu ini memang teramat sadis karena dapat membunuh manusia dalam waktu yang relatif singkat. Ilmu ini juga dapat menyebabkan manusia mati secara perlahan yang dapat menimbulkan penderitaan yang hebat dan berkepanjangan.

Dalam masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu dikenal dengan istilah “Rua Bineda” yaitu Rua berarti dua dan Bineda berarti berbeda yang artinya ada dua yang selalu berbeda, seperti adanya siang dan malam, ada suka dan duka, ada hidup dan mati, demikian pula dengan ilmu ini ada ilmu yang beraliran kiri disebut ilmu hutam atau Ilmu Pengeleakan dan sebagai penangkalnya ada ilmu yang beraliran kanan atau ilmu putih.


Pelestarian Pusaka - Naskah Kuno Nusantara

Berbagai buku-buku kuno yang merupakan kekayaan budaya masa lampau saat ini terserak di seluruh Nusantara. Media yang dipergunakan untuk menulis karya intelektual yang luar biasa tersebut adalah daun lontar, kertas daluang, bambu atau kulit kayu. Indonesia dengan iklim tropisnya, ditambah dengan berbagai jenis serangga, mikroorganisme bahkan binatang, juga berbagai efek kimia seperti panas, kelembaban atau cahaya merupakan ancaman bagi kelestarian pustaka-pustaka tersebut.
Dan apabila kerusakan itu terjadi, maka sebagaian besar karya asli Bangsa Indonesia tersebut, tidak akan dapat dinikmati lagi oleh generasi yang akan datang. Untuk itu Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat melalui Kelompok Kerja Bidang Teknologi Informasi PHDI Pusat yang dan berkoordinasi dengan Ketua Bidang Sosial Budaya, mencoba untuk memulai langkah-langkah pelestarian itu sebagai rasa tanggung jawab kami untuk membantu Pemerintah dalam melestarikan kekayaan budaya Nusantara agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

Seputar Sampradaya

Masuknya Sampradaya dalam Anggaran Rumah Tangga Parisada khususnya Pasal 12 ayat 1 huruf b butir 3 cukup mengundang masalah khususnya di Bali dan beberapa daerah lainnya. Di Bali kehadiran Sampradaya dijadikan salah satu alasan oleh kelompok tertentu untuk tidak mengakui hasil-hasil Maha Sabha VIII di Denpasar tahun 2001 yang lalu. Sampai saat ini banyak diantara umat Hindu belum memahami apa yang dimaksud dengan Sampradaya sehingga sering terpengaruh oleh isu bahwa Sampradaya hendak meniadakan tatanan ritual agama Hindu antara lain : banten dan caru.

Salah satu referensi yang kita temukan untuk dapat memahami kehadiran Sampradaya adalah Lampiran Ketetapan Maha Sabha VIII No. III/TAP/M.SABHA/VIII/2001 tanggal 23 September 2001 butir 1 dan 2 yang menyatakan:
1) PHDI sebagai Majelis Tertinggi Agama, wajib mengayomi segenap umat secara pribadi maupun “yang menghimpun diri dalam berbagai kelompok spiritual” yang didasarkan ajaran Hindu;
2) Kelompok Spiritual/Sampradaya dalam melaksanakan aktivitas keagamaan agar berkonsultasi dan selalu taat pada Keputusan Parisada sesuai tingkatannya serta tetap menghormati pelaksanaan agama yang telah menyatu dengan nilai-nilai budaya dan tradisi setempat.

Krama Tridatu dan Melasti setelah Nyepi

Meski berada dalam arus pusaran gaya hidup kota, Desa Pakraman Buleleng tetap mempertahankan berbagai keunikan dan kekhasan daerahnya. Salah duanya adalah mempertahankan eksistensi warga tridatu atau krama negak atau krama petang dasa dan tradisi melasti setelah hari Nyepi yakni pada purnama sasih kedasa.

Krama Tridatu adalah simbolis dari pengiring Ki Barak Panji (yang kemudian menjadi raja Buleleng yang dikenal dengan nama Anglurah Panji Sakti) ketika berangkat dari Klungkung ke Buleleng. Jumlah pengiring itu 40 orang. Keempat puluh orang itu dianggap sebagai krama negak yang secara turun-temurun mendapatkan sejumlah keistimewaan. Pakaian krama negak itu pun berbeda dengan warga lainnya, di mana destar-nya putih, baju hitam, saput merah. Warna putih hitam merah itu adalah perwujudan dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Iswara).