Krama Tridatu dan Melasti setelah Nyepi

Meski berada dalam arus pusaran gaya hidup kota, Desa Pakraman Buleleng tetap mempertahankan berbagai keunikan dan kekhasan daerahnya. Salah duanya adalah mempertahankan eksistensi warga tridatu atau krama negak atau krama petang dasa dan tradisi melasti setelah hari Nyepi yakni pada purnama sasih kedasa.

Krama Tridatu adalah simbolis dari pengiring Ki Barak Panji (yang kemudian menjadi raja Buleleng yang dikenal dengan nama Anglurah Panji Sakti) ketika berangkat dari Klungkung ke Buleleng. Jumlah pengiring itu 40 orang. Keempat puluh orang itu dianggap sebagai krama negak yang secara turun-temurun mendapatkan sejumlah keistimewaan. Pakaian krama negak itu pun berbeda dengan warga lainnya, di mana destar-nya putih, baju hitam, saput merah. Warna putih hitam merah itu adalah perwujudan dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Iswara).

Klian Desa Pakraman Buleleng Made Rimbawa, B.A. menceritakan, dulu sekitar tahun 1815 keadaan di Buleleng kacau balau karena diterjang banjir bandang. Lalu 40 krama negak itu dipanggil untuk mengamankan warga, lalu selanjutnya dipercaya sebagai pengawal adat, budaya dan hal lain yang mengancam Buleleng. Bahkan, dari 40 krama negak itu secara turun-temurun lantas dipilih menjadi penyarikan desa atau juru surat yang sekarang disebut klian desa. ''Mereka dipilih melalui upacara nyanjan,'' kata Rimbawa.

Lalu untuk upacara melasti, mungkin hanya Desa Pakraman Buleleng yang melaksanakan upacara melasti setelah Nyepi yakni pada purnama sasih kedasa. Upacara itu, menurut Rimbawa, dilaksanakan berdasarkan lontar Sang Hyang Haji Swamandala. Namun, upacara melasti itu tetap akan dilaksanakan pada sasih kesanga, jika pada saat purnama kadasa terjadi upacara besar di Pura Besakih. 'Perbedaan-perbedaan pelaksanaan upacara itu tak usah diperdebatkan, yang penting bagaimana kita memahami makna dari upacara tersebut', ucap tandas Rimbawa.

Dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar